Selasa, 19 Oktober 2010

Susi Pudjiastuti, Kisah Sukses Yang Menginspirasi

Keputusannya keluar dari sekolah ketika masih berusia 17 tahun sangat disesalkan dua orang tuanya. Namun, berkat keuletan dan kerja kerasnya, kini Susi Pudjiastuti memiliki 50 pesawat dan pabrik pengolahan ikan yang berkualitas untuk melayani kebutuhan ekspor.

Angin laut bertiup kencang saat pesawat Cessna yang membawa koran ini mendekati Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Setelah berputar sekali di atas perairan biru, pesawat berkapasitas 10 penumpang itu lantas menukik, kemudian mendarat di bibir pantai yang indah.
Konstruksi landasan yang biasa dipakai take-off dan landing itu terbuat dari campuran pasir-batu yang dipadatkan. ’’Ini bandara private (milik pribadi). Panjangnya satu kilometer,’’ ujar wanita paro baya itu.
Namanya Susi Pudjiastuti, presiden direktur PT ASI Pudjiastuti yang bergerak di bidang perikanan dan PT ASI Pudjiastuti Aviation yang merupakan operator penerbangan Susi Air. Rambutnya ikal kemerahan, suaranya serak-serak, namun pembawaannya supel.
Bukan hanya bahasa Inggris fasih yang keluar dari mulutnya saat berbincang dengan para pilotnya yang bule. Susi juga menggunakan bahasa Sunda dan sesekali bahasa Jawa kepada pembantu-pembantunya.
’’Saya suka belajar bahasa apa aja. Yang penting bisa buat marah dan memerintah. Sebab, dengan itu, saya bisa bekerja,’’ ujarnya lantas tertawa.
Kini wanita kelahiran Pangandaran, 15 Januari 1965 tersebut memiliki 50 unit pesawat berbagai jenis. Di antaranya, Grand Caravan 208B, Piaggio Avanti II, Pilatus Porter, dan Diamond DA 42. Kebanyakan pesawat itu dioperasikan di luar Jawa seperti Papua dan Kalimantan.
’’Ada yang disewa. Namun, ada yang dioperasikan sendiri oleh Susi Air. Biasanya dipakai di daerah-daerah perbatasan oleh pemda atau swasta,’’ jelas wanita yang betis kanannya ditato gambar burung phoenix dengan ekor menjuntai itu.
    
Susi tak mematok harga sewa pesawat secara khusus. Sebab, hal itu bergantung pelayanan yang diminta pihak penyewa. Biaya sewanya pun bermacam-macam, tapi rata-rata USD400–USD500 per jam.
’’Kadang ada yang mau USD600–USD700 per jam. Perusahaan minyak mau bayar USD1.000 karena beda-beda level servis yang dituntut. Untuk keperluan terbang, semua peranti disediakan Susi Air. Pesawat, pilot, maupun bahan bakar. Jadi, itu harga nett mereka tinggal bayar,’’ tegasnya.
    
Bakat bisnis Susi terlihat sejak masih belia. Pendirian dan kemauannya yang keras tergambar jelas saat usia Susi menginjak 17 tahun. Dia memutuskan keluar dari sekolah ketika kelas II SMA. Tak mau hidup dengan cara nebeng orang tua, dia mencoba hidup mandiri. Tapi, kenyataan memang tak semudah yang dibayangkan.
’’Cuma bawa ijazah SMP, kalau ngelamar kerja jadi apa saya. Saya nggak mau yang biasa-biasa saja,’’ ujarnya. Kerja keras pun dilakoni saat itu. Mulai berjualan baju, bedcover, hingga hasil-hasil bumi seperti cengkih. Setiap hari, Susi harus berkeliling Kota Pangandaran menggunakan sepeda motor untuk memasarkan barang dagangannya. Hingga, dia menyadari bahwa potensi Pangandaran adalah di bidang perikanan. ’’Mulailah saya pengen jualan ikan karena setiap hari lihat ratusan nelayan,’’ tuturnya.
    
Pada 1983, berbekal Rp750 ribu hasil menjual perhiasan berupa gelang, kalung, serta cincin miliknya, Susi mengikuti jejak banyak wanita Pangandaran yang bekerja sebagai bakul ikan. Tiap pagi pada jam-jam tertentu, dia nimbrung bareng yang lain berkerumun di TPI (tempat pelelangan ikan). ’’Pada hari pertama, saya hanya dapat 1 kilogram ikan, dibeli sebuah resto kecil kenalan saya,’’ ungkapnya.
Tak cukup hanya di Pangandaran, Susi mulai berpikir meluaskan pasarnya hingga ke kota-kota besar seperti Jakarta. Dari sekadar menyewa, dia pun lantas membeli truk dengan sistem pendingin es batu dan membawa ikan-ikan segarnya ke Jakarta. ’’Tiap hari, pukul tiga sore, saya berangkat dari Pangandaran. Sampai di Jakarta tengah malam, lalu balik lagi ke Pangandaran,’’ ucapnya mengenang pekerjaan rutinnya yang berat pada masa lalu.
    
Meski sukses dalam bisnis, Susi mengaku gagal dalam hal asmara. Wanita pengagum tokoh Semar dalam dunia pewayangan itu menyatakan sudah tiga kali menikah. Tapi, biduk yang dia arungi bersama tiga suaminya tak sebiru dan seindah Pantai Pangandaran. Semua karam.
Dari suaminya yang terakhirlah, Christian von Strombeck, si Wonder Woman itu mendapat inspirasi untuk mengembangkan bisnis penerbangan. ’’Dia seorang aviation engineer,’’ lanjutnya.
Christian merupakan seorang ekspatriat yang pernah bekerja di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara, sekarang PT DI). Awal perkenalannya dengan lelaki asal Prancis itu terjadi karena Christian sering bertandang ke Restoran Hilmans milik Susi di Pantai Pangandaran. Berawal dari perkenalan singkat, Christian akhirnya melamar Susi. ’’Restoran saya memang ramai. Sehari bisa 70–100 tamu,’’ katanya.
Dengan Christian, Susi mulai berangan-angan memiliki sebuah pesawat dengan tujuan utama mengangkut hasil perikanan ke Jakarta. Satu-satunya jalan, lanjut dia, adalah membangun landasan di desa-desa nelayan. ’’Jadi, tangkap ikan hari ini, sorenya sudah bisa dibawa ke Jakarta. Kan cuma sejam,’’ tegas ibu tiga anak dan satu cucu tersebut.
Berbeda jika harus memakai jalur darat yang bisa memakan waktu hingga sembilan jam. Sesampai di Jakarta, banyak ikan yang mati. Padahal, jika mati, harga jualnya bisa anjlok separo.
’Kami mulai masukin business plan ke perbankan pada 2000, tapi nggak laku. Diketawain sama orang bank dan dianggap gila. Mau beli pesawat USD2 juta, bagaimana ikan sama udang bisa bayar, katanya,’’ ujar Susi.
Baru pada 2004, Bank Mandiri percaya dan memberi pinjaman USD4,7 juta (Rp47 miliar) untuk membangun landasan serta membeli dua pesawat Cessna Grand Caravan. Namun, baru sebulan dipakai, terjadi bencana tsunami di Aceh. ’’Tanggal 27 kami berangkatkan satu pesawat untuk bantu. Itu jadi pesawat pertama yang mendarat di Meulabouh. Tanggal 28 kami masuk satu lagi. Kami bawa beras, mi instan, air, dan tenda-tenda,’’ ungkapnya.
    
Awalnya, Susi berniat membantu distribusi bahan pokok secara gratis selama dua minggu saja. Tapi, ketika hendak balik, banyak lembaga nonpemerintah yang memintanya tetap berpartisipasi dalam recovery di Aceh.
’’Mereka mau bayar sewa pesawat kami. Satu setengah tahun kami kerja di sana. Dari situ, Susi Air bisa beli satu pesawat lagi,’’ jelasnya.
Perkembangan bisnis sewa pesawat terus melangit. Utang dari Bank Mandiri sekitar Rp47 miliar sekarang tinggal 20 persennya. ’’Setahun lagi selesai. Tinggal tiga kali cicilan lagi. Dari BRI, sebagian baru mulai cicil. Kalau ditotal, semua (pinjaman dari perbankan) lebih dari Rp2 triliun. Return of investment (balik modal) kalau di penerbangan bisa 10–15 tahun karena mahal,’’ katanya.
Susi tak hanya mengepakkan sayap di bisnis pesawat dan menebar jaring di laut. Sekarang, dia merambah bisnis perkebunan. Meski begitu, dia mengakui ada banyak rintangan yang harus dilalui. ’’Perikanan kita sempat hampir rugi karena tsunami di Pagandaran pada 2005. Kami sempat dua tahun nggak ada kerja perikanan,’’ tuturnya.
    
Untuk penerbangan rute Jawa seperti Jakarta-Pangandaran, Bandung-Pangandaran, dan Jakarta-Cilacap, Susi menyatakan masih merugi. Sebab, terkadang hanya ada 3–4 penumpang. Dengan harga tiket rata-rata Rp500 ribu, pendapatan itu tidak cukup untuk membeli bahan bakar. ’’Sebulan rute Jawa bisa rugi Rp300 juta–Rp400 juta. Tapi, kan tertutupi dari yang luar Jawa. Lagian, itu juga berguna untuk angkut perikanan kami,’’ ujarnya.
    
Susi memang harus mengutamakan para pembeli ikannya karena mereka sangat sensitif terhadap kesegaran ikan. Sekali angkut dalam satu pesawat, dia bisa memasukkan 1,1 ton ikan atau lobster segar. Pembelinya dari Hongkong dan Jepang setiap hari menunggu di Jakarta. ’’Bisnis ikan serta lobster tetap jalan dan bisnis penerbangan akan terus kami kembangkan. Tahun depan kami harap sudah bisa memiliki 60 pesawat,’’ katanya penuh optimisme. (agus w./niz)  

Jumat, 08 Oktober 2010

Kabupaten Kaya di Indonesia

Sebanyak 20 kabupaten dan kota di Indonesia mendapatkan transfer dana bagi hasil sumber daya alam dari pemerintah pusat dalam jumlah sangat besar. Bahkan, sangat jauh berbeda dibandingkan dengan puluhan kabupaten lainnya.

Beberapa kabupatan malah mendapatkan dana bagi hasil triliunan rupiah dari tahun ke tahun. Sebut saja misalnya Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur yang mendapatkan bagian dana Bagi Hasil Rp2,5 triliun pada 2009 atau Kabupaten Bengkalis di Riau yang mendapatkan jatah Rp1,5 triliun.

Ini tak sebanding dengan rata-rata kabupaten paling miskin sumber daya alam, kebanyakan di Jawa yang cuma memperoleh ratusan juta rupiah per tahun. Contohnya, seperti Kabupatan Gunung Kidul, Sleman dan Kulon Progo di propinsi Jogjakarta yang masing-masing cuma mendapatkan jatah dana bagi hasil sumber alam, Rp 144-146 jutaan per tahun.

Berdasarkan data yang VIVAnews himpun dari Hasil Audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2009 yang dirilis baru-baru ini, sedikitnya ada 20 kabupaten dan kota yang mendapatkan dana bagi hasil di atas Rp400 miliar per tahun atau 2.700 kali dibandingkan dengan jatah dari Kabupaten Gunung Kidul.

Kabupaten kaya raya tersebut sebagian besar berlokasi di Kalimantan Timur, sebagian lagi tersebar di Riau, Sumatra Selatan, Kepulauan Riau dan Papua. Kalimantan Timur menjadi pusat lokasi pertambangan batu bara, sedangkan Riau dan Kepulauan Riau menjadi tempat pertambangan minyak dan gas.

Dari Papua ada kabupaten Mimika yang mendapatkan jatah Dana Bagi Hasil Rp440 miliar pada 2009. Wilayah di pegunungan Papua ini mendapatkan dana bagi hasil tertinggi dibandingkan kabupaten lain di Papua lantaran menjadi tempat pertambangan emas dan tembaga oleh PT Freeport Indonesia.

Daftar kabupaten terkaya dari bagi hasil sumber daya alam.
No Kabupaten Propinsi Bagi Hasil (miliar)
1 Kutai Kartanegara Kaltim 2.566,55
2 Bengkalis Riau 1.519,73
3 Kutai Timur Kaltim 1.059,72
4 Siak Riau 993,20
5 Rokan Hilir Riau 911,07
6 Musi Banyuasin Sumsel 858,45
7 Kampar Kaltim 679,32
8 Kutai Barat Kaltim 670,60 
9 Pasir Kaltim 593,64
10 Berau Kaltim 553,26
11 Bulungan Kaltim 482,82
12 Samarinda Kaltim 480,19
13 Nunukan Kaltim 478,34
14 Panajam Pasir Utara Kaltim 477,03
15 Bontang Kaltim 476,83
16 Malinau Kaltim 462,34
17 Tarakan Kaltim 454,55
18 Balikpapan Kaltim 441,60
19 Natuna Kep Riau 440,24
20 Mimika Papua 424,33

Pemerintah memperoleh penerimaan sumber daya alam pada tahun lalu sebesar Rp138,96 triliun. Itu setara dengan 61 persen dari total Rp227,06 triliun penerimaan negara bukan pajak. Penerimaan itu berasal dari pendapatan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, kehutanan, perikanan dan pertambangan panas bumi. Penerimaan terbesar berasal dari minyak bumi yang mencapai Rp90 triliun.

Dari total penerimaan sumber daya alam, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pemerintah membagikan ke daerah dalam bentuk bagi hasil sumber daya alam yang menjadi bagian Pemda. Total yang dibagikan Rp36,86 triliun. Bagi hasil terbanyak berupa minyak bumi Rp14,6 triliun, gas bumi Rp11,5 triliun dan pertambangan umum Rp 7,2 triliun.

Penerimaan sumber daya alam 2009 sesungguhnya menurun jauh atau Rp85 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. Itu disebabkan penurunan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dari US$101 per barel pada 2008 menjadi US$58 per barel pada 2009.
Meski sumber alamnya kaya raya, namun tidak selalu identik dengan kondisi penduduknya. Di Kaltim, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Juli 2009, prosentase penduduk miskin memang relatif kecil, bahkan turun dari 9,51 persen pada Maret 2008 menjadi 7,73 persen pada Maret 2009.
Tetapi, di Papua, jumlah penduduk miskin masih sangat tinggi, bahkan naik yakni dari 37,08 persen pada Maret 2008 menjadi 37,53 persen pada Maret 2009. Mungkin ini juga menjadi salah satu bagian yang membuat situasi di Papua kerap bergejolak.

Rabu, 06 Oktober 2010

Merdeka Dari Neoliberalisme

Di Amerika, Alan Greenspan mengaku terus terang bahwa dia salah dengan system ekonomi pasar bebas. Dalam majalah Newsweek menurunkan laporan utama yang berjudul : We Are All Socialists Now, kita Semua Sosialis Sekarang. Artinya, kini Amerika Serikat memberi peran lebih besar kepada negara, bukan lagi sepenuhnya kepada pasar, seperti terjadi sejak era Ronald Reagan, tahun 1980an.

Menariknya, langkah itu ternyata tidak dimulai oleh Presiden Barack Obama, tapi oleh George Bush yang selama ini selalu menekan negara-negara lain untuk mengikuti jalan kapitalisme.
George Bush pula yang mengumumkan penyelamatan (bail out) 700 miliar dollar pada pertengahan Oktober 2008. Suntikan dana pemerintah kepada swasta yang terancam bangkrut jelas bertentangan dengan ideologi kapitalisme. Cara itu diperkenalkan pemerintah China pada 1998, ketika sejumlah bank di Hongkong terancam bangkrut. 
Juga bertentangan dengan kapitalisme ketika pemerintahan Bush menasionalisasikan Fannie Mae dan Freddie Mac, dua perusahaan yang penting dalam pembangunan perumahan di Amerika Serikat.

Ketika krisis perumahan yang melanda Amerika begitu menakutkan, terutama setelah Lehman Brothers, salah satu lembaga keuangan terbesar itu bangkrut September 2008. Padahal perusahaan ini telah beroperasi selama ratusan tahun. Ia selamat dari depresi ekonomi dahsyat tahun 1929, Great Depression.
Selain perusahaan itu masih banyak lagi yang lain, termasuk Citibank, Bank of America, Ford dan General Motor yang bangkrut.
Ditengah kepanikan pasar itulah bail out di kucurkan dan diumumkan menteri keuangan Hank Paulson. Pada titik inilah ideologi kapitalisme telah dilupakan.

Salah satu operator kapitalisme di Amerika Serikat yang kondang dan terkemuka adalah Alan Greenspan, bekas ketua Federal Reserve atau The Fed, semacam Bank Indonesia. Alan Greenspan dijuluki arsitek kemakmuran Amerika, bahkan gelar maestro didapatnya dalam memajukan pasar uang Amerika. 


 Tapi setelah krisis global melanda, sang maestro sadar bahwa system kapitalisme yang mereka praktekkan selam ini banyak kelemahannya. Maka didepan sebuah sidang komisi di DPR Amerika Serikat (House of Representative), Greenspan terus terang mengakui anggapan yang selama puluhan tahun dianutnya, bahwa pasar bebas bisa melakukan koreksi sendiri ternyata salah, dia telah memberi penilaian terlalu tinggi (over estimate) terhadap kemampuan pasar.

Dari pengalaman ini, memberikan peringatan bahwa system kapitalisme laissez faire sudah saatnya ditinggalkan. Mestinya krisis global yang melanda Amerika dan Eropa ini menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia, setelah sekian lama bangsa ini mengikuti ideologi kapitalisme dan telah melihat kehancurannya, bangsa ini mesti segera meninggalkannya.
Merdeka dari penjajahan baru, neoliberalisme.

Selasa, 05 Oktober 2010

Pemimpin Pilihan Masyarakat Solo

Pemilihan umum adalah ajang ”penghakiman” calon kepala daerah petahana atau incumbent, termasuk dalam pemilu kepala daerah. Pemilu kedua akan membuktikan apakah calon tersebut dinilai berhasil menyejahterakan rakyatnya atau tidak.

Joko Widodo (Jokowi), yang berpasangan dengan FX Hadi Rudyatmo, meraih kemenangan fenomenal dalam Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo 2010, 26 April lalu. Keduanya meraup suara 90,09 persen. Berdasarkan catatan pilkada, perolehan suara itu beda sedikit dengan kemenangan pasangan petahana Herman Sutrisno-Akhmad Dimyati di Pilkada Banjar, Kalimantan Selatan, pada 2008, sebesar 92,19 persen.

Pasangan petahana yang terkenal dengan panggilan Jokowi-Rudy ini diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) serta didukung Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera. Pasangan ini hanya kalah di satu tempat pemungutan suara (TPS) dari 932 TPS. Pasangan ini rencananya dilantik pada 28 Juli mendatang.

Satu-satunya pesaing Jokowi-Rudy, KP Eddy S Wirabhumi-Supradi Kertamenawi yang diusung Partai Demokrat dan didukung Partai Golkar, hanya mengumpulkan suara 9,91 persen. Dalam pilkada ini, angka partisipasi mencapai 71,80 persen dari 393.703 jiwa dalam daftar pemilih tetap.

Apakah kemenangan Jokowi-Rudy mencerminkan seperti itu aspirasi rakyat? Sumarno (42), tukang becak yang biasa mangkal di depan Pura Mangkunegaran, menilai Jokowi sebagai sosok yang mau menyapa rakyat kecil dan kerjanya sebagai wali kota selama 2005-2010 terlihat nyata.

Sumarno terkesan dengan upaya penataan kota yang dilakukan Jokowi, seperti di koridor Ngarsapura dengan memindahkan toko-toko elektronik yang semula memenuhi sisi kanan dan kiri koridor ke pasar elektronik yang dibangun Pemerintah Kota Solo. Lahan tempat berdirinya toko adalah tanah negara. Kawasan Ngarsapura kini menjadi ruang publik yang cantik. ”Wajah Pura Mangkunegaran jadi terlihat, tidak seperti dulu, tertutup deretan toko,” kata warga Kampung Keprabon ini, Selasa (18/5) di Jawa Tengah.

Kesan sama dikemukakan Rino Handoyo (25), warga Kadipiro, Banjarsari, yang berjualan jus buah di dekat Stadion R Maladi, Sriwedari. Ia memberikan apresiasi terhadap Program Kesehatan Masyarakat Solo (PKMS) yang diberikan kepada warga yang tidak memperoleh jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) atau asuransi kesehatan (askes).

Ayah Rino, yang menderita gangguan prostat dan harus dirawat sebulan di Rumah Sakit Dr Moewardi, hanya mengeluarkan 80 persen dari total biaya Rp 15 juta dengan menggunakan kartu PKMS seri silver. Kartu seri gold yang diberikan untuk warga miskin Kota Solo malah menggratiskan seluruh biaya pengobatan.

Salah satu prestasi Jokowi-Rudy dalam memimpin Kota Solo, yang diakui warga Solo dan luar Kota Solo, adalah model pendekatan dalam penataan pedagang kaki lima (PKL). Pada saat Satuan Polisi Pamong Praja di kota lain ribut dengan PKL, di Solo, pemindahan hampir 1.000 PKL dari Monumen ’45 Banjarsari ke Pasar Klithikan, Notoharjo, tanpa kekerasan.

Perhatian Jokowi-Rudy terhadap masyarakat tidak diragukan lagi. Bahkan, sehari menjelang kampanye, Pemkot Solo meluncurkan Bantuan Pendidikan Masyarakat Solo (BPMS) untuk 43.000 siswa yang menggratiskan biaya pendidikan untuk siswa SD-SMA.

Selain figur Jokowi yang dinilai luar biasa, kesuksesan Jokowi-Rudy itu juga didukung tim sukses yang solid. ”Di wilayah yang menunjukkan keragu-raguan terhadap Jokowi-Rudy, kami melakukan pendekatan rendah hati, mengembangkan dialog intersubyektif. Strategi kami disebut andap asor,” kata Ketua Tim Kampanye Jokowi-Rudy, Putut Gunawan.

Suwardi, dosen dan peneliti dari Laboratorium Kebijakan Publik Universitas Slamet Riyadi, Solo, mengungkapkan, hasil survei Desember 2009 menunjukkan, akseptabilitas Jokowi mencapai 78,6 persen, Rudy 8 persen, dan Eddy 2,2 persen.

Dukungan terhadap Jokowi untuk maju sebagai bakal calon wali kota dari lintas pemilih parpol mencapai 93,0 persen. Survei yang digelar tiga minggu menjelang hari-H pilkada menunjukkan elektabilitas Jokowi-Rudy 85,7 persen dan seminggu sebelum hari-H mencapai 90 persen. ”Sosok Jokowi yang merupakan profesional pebisnis tanpa latar belakang politik kepartaian mampu mematahkan mitos sekat-sekat ideologi perpolitikan lokal,” kata Suwardi.